Mungkin ini adalah kejadian yang paling memilukan diantara kejadian yang terjadai saat ini di Negara kita, bayangkan pengabdian seorang Orang Tua merelakan ginjalnya dijual demi menebus ijazah anaknya. Sugiyanto yang tinggal di sebuah kompleks rukodan membuka lapak jahitan yang bedrukuran 3 x 4 m, dilapak inilah mereka tinggal dan Sebagian ruangan tersebut kemudian disekat untuk kamar tidur. Ruangan itu terkesan lebih sempit sebab dipenuhi mesin jahit, benang jahit, dan beberapa pakaian, baik yang sudah ataupun belum sempat digarap oleh ayahnya.
Awal kisah Sugiyanto dan anaknya (Sarameilanda Ayu), melakukan orasi dengan membawa poster bertuliskan "Kepada Saudara Yang Butuh Ginjal Kami Siap Jual, Tubuh Kami Siap Dibelah, Demi Untuk Menebus Ijazah" di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, di Jakarta tanggal 26 Juli 2013.
Ayu menamatkan jenjang sekolah menengah pertama pada tahun 2008. Pun demikian dengan jenjang sekolah lanjutan. Dia lulus pada tahun 2011 ditambah pengabdian kepada almamater sampai tahun 2013. Dia bahkan sempat mengenyam bangku kuliah selama dua bulan di pondok tersebut.
Namun Ayu menuturkan bahwa semua mulai berubah pada awal Januari lalu. Pada saat itu, terjadi insiden kekerasan. Hal itu dipicu permasalahan internal. Yang membuat dirinya dan teman-temannya takut, kejadian tersebut terjadi di depan mata para santri. Sejak itu kondisi pondok menjadi mencekam.
Lantaran takut, para santri banyak yang berniat meninggalkan pondok. "Tapi kami tidak boleh, justru kami disuruh membayar ijazah SMP sebesar Rp 7 juta dan ijazah SMA Rp 10 juta," katanya. Alasan pihak pondok, para santri harus menyelesaikan jenjang S-1 dulu baru boleh keluar. Namun, menurut Ayu, peraturan tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
Tidak hanya itu, pihak pondok, juga meminta uang pengganti selama Ayu berada di sana. "Mereka mintanya Rp 20 ribu per hari, saya di sana sekitar enam tahun," kata Ayu dengan nada kesal.
Merasa semakin tertekan. Ayu dan beberapa rekannya kemudian memilih kabur dari tempat mereka menuntut ilmu. Kejadian tersebut lalu disampaikannya kepada sang ayah, Sugianto. Tentu saja uang sebanyak itu bukan jumlah yang sedikit bagi Sugianto, yang sehari-hari hanya berpenghasilan tak lebih dari Rp 70 ribu. Apalagi, sejak 12 tahun lalu, Sugianto harus menafkahi dua anaknya sendiri. Istrinya, Ningsih, meninggal saat Ayu masih berusia 5 tahun.
Sugianto lalu mengadukan permasalahannya ke berbagai pihak. "Saya ke Komnas HAM sudah, Kemenag juga sudah, dan beberapa instansi lain," ujar Sugianto. Namun jawaban yang didapat Sugianto hanya saran untuk menunggu.
Mulai kehabisan akal, Sugianto akhirnya memilih turun ke jalan. Aksi yang dilakukan Sugianto pun tidak main-main. Dia melakukan orasi dengan membawa tulisan yang intinya dia siap menjual ginjal demi ijazah anaknya. Ginjalnya pun hanya dibanderol seharga ijazah anaknya. "Saya tidak ada niatan mencari sensasi. Kalau memang ada yang menawar seharga itu akan saya berikan asal ijazah Ayu bisa diambil," katanya.
Sugianto mengaku sadar atas risiko yang akan diterimanya jika ginjalnya benar-benar laku. "Saya rela, kalaupun kesehatan saya menurun juga tidak masalah.
Aksi pertamanya di RSCM tidak membuahkan hasil, hingga kemudian dia berpindah ke Bundaran Hotel Indonesia. Aksi Sugianto akhirnya mendapat perhatian dari banyak pihak. Berbagai media sontak memberitakan aksinya.
Beberapa orang yang bersimpati pun menawarkan bantuan. Tak hanya bantuan, Sugianto mengaku sudah mendapat telepon dari beberapa orang yang serius menawar ginjalnya.
Pertemuan Sugiyanto dan Sarameilanda Ayu bersama Mendikbud
Usai mengadakan pertemuan tertutup dengan Sugiyanto dan Ayu, Mendikbud menemui insan media yang menunggunya. Ia keluar bersama-sama dengan pasangan bapak dan anak itu. Mendikbud mengatakan ia sudah mendengar duduk perkaranya dari mereka, sehingga ada dua hal yang telah diputuskan dalam pertemuan itu. "Pertama, urusan ijazah, kementerian yang akan take over," janji Mendikbud di hadapan wartawan. Kementerian, katanya, memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan urusan ijazah. Kedua, ujar Mendikbud, pendidikan Ayu tidak boleh berhenti hingga tingkat SMA. Dalam pertemuan tertutup, Ayu sempat ditanya Menteri Nuh mengenai keinginannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ayu pun menyatakan minatnya untuk berkuliah.
Menteri Nuh kemudian langsung menghubungi beberapa perguruan tinggi negeri yang masih membuka pendaftaran. Ayu pun diarahkan ke Politeknik Negeri Jakarta, dan ia memilih program studi MICE. Menteri Nuh mengaku langsung mengontak Direktur PNJ, untuk menyiapkan Bidikmisi bagi Ayu. "Sehingga tidak terbebani lagi biaya pendidikannya